Sudah delapan tahun ternyata kebersamaan kita dan malam ini sampai juga di tempat yang mungkin sudah lama kamu idam-idamkan, kamar pengantin. Aku mulai mengembalikan ingatan saat pertemuan ospek kala itu. Ketika kita berpapasan di sebuah meja pendaftaran untuk malam keakraban, lalu kamu mengisi biodata duluan dan dengan sengaja aku simpan dengan baik nama itu. Arman. Parahnya, ternyata kita tidak sadar bahwa meja itu adalah awal dari kesalahan maupun keakraban kita. Sampai pada akhirnya kita sadar bahwa ini adalah gelaran pecinta alam. Kita harus berkemah di lembah, mendaki bukit, hingga menuruni jembatan dengan ikatan tali di pinggang. Sungguh aktivitas yang menguras energi untuk tubuh jenis makhluk rumahan. Kita makan indomie porsi mini, lalu terkadang minum di jernihnya air kali. Sambil bajumu dililitkan ke kepala saking tak tahan dengan banyaknya peluh yang meluncur di dada. Kalau ingat itu, rasanya bukan awal yang buruk juga.
Kuliah di Periklanan bisa dibilang gampang-gampang susah. Gampang teori, susah di skripsi. Satu moment yang pasti kita tidak lupa pasti saat syuting film pendek bersama. Aku pengarah artis, kamu pengarah kamera. Aku bingung mengarahkan artis amatir yang minim ekspresi. Sementara kamu selalu kontradiksi dengan sutradara masalah sisi estetik. Pada akhirnya kamupun pergi, mengalah dengan situasi. Satu sesi emosi kala itu.
“Malam ini... malam terakhir aku lajang.”,
kamu tiba-tiba menguapkan kalimat sambil memandangi langit-langit. Aku tidak
tahu harus menjawab apa. Bukankah memang masing-masing dari diri kita akan
sampai di tahap ini juga pada akhirnya. Menjadi limited edition untuk
satu wanita?
“Lajang gak lajang apa bedanya
sih, man? Lajang desperate banyaaak, married frustasi..
apalagi.”, tambahku dengan tawa penuh kepuasan menakut-nakutinya.
“Kalian sudah 8 tahun. Sudah ada
itu asam garam, cuka lada, sampai macam ketumbar di hubungan kalian. Kenapa
juga khawatir? Mungkin level pemikiran ke depan yang perlu diupgrade.”
“Bukan khawatir. Aku takut kalau
nantinya bahagia yang dia harapkan gak sebanding dengan bahagia yang aku mampu
kasih.”. Kamu lalu memandangi jendela hotel yang lebar, mengamati bintang, mencoba
meraba perkiraan-perkiraan.
“Bahagia itu seperti anak tangga.
Bahagia nikah nantinya kalah sama bahagia punya anak. Bahagia punya anak
nantinya kalah bahagia anak juara kelas. Bahagia anak juara kelas kalah sama
bahagia anak menikah, begitu seterusnya. Gak usah ngomongin kebahagiaan dulu
deh. Gak ada garis finishnya.”
“Eh, udah hapal belum itu
ngomong-ngomong kata-kata ijab kabul?”
Ia lalu cekikikan dan
mengulang-ngulang apa yang akan diucapkannya besok, sambil aku berpikir
sejenak. Bahagia yang ia rangkai dari delapan tahun lalu saja masih ia
khawatirkan. Bagaimana dengan aku? Rangkaianku berceceran entah di mana, tidak
pernah ada benang kuat yang bisa kugunakan untuk menyambungkan perasaan-perasaan.
Should I worried myself? Am I being unhappiest person then?
“Yuk, tidur ah. Sudah jam 12 nih.
Capek banget dari kemarin belum ada tidur. Besok akad jam 4 pagi udah mandi loh!”,
sang mempelai kupaksa memejamkan mata.
“Udah cuci kaki belooom itu
ngomong-ngomong? Ntar ranjang gue kotooor!”
“Udaaah kali!”.