06 Februari 2013

KAMAR PENGANTIN

Sudah delapan tahun ternyata kebersamaan kita dan malam ini sampai juga di tempat yang mungkin sudah lama kamu idam-idamkan, kamar pengantin. Aku mulai mengembalikan ingatan saat pertemuan ospek kala itu. Ketika kita berpapasan di sebuah meja pendaftaran untuk malam keakraban, lalu kamu mengisi biodata duluan dan dengan sengaja aku simpan dengan baik nama itu. Arman. Parahnya, ternyata kita tidak sadar bahwa meja itu adalah awal dari kesalahan maupun keakraban kita. Sampai pada akhirnya kita sadar bahwa ini adalah gelaran pecinta alam. Kita harus berkemah di lembah, mendaki bukit, hingga menuruni jembatan dengan ikatan tali di pinggang. Sungguh aktivitas yang menguras energi untuk tubuh jenis makhluk rumahan. Kita makan indomie porsi mini, lalu terkadang minum di jernihnya air kali. Sambil bajumu dililitkan ke kepala saking tak tahan dengan banyaknya peluh yang meluncur di dada. Kalau ingat itu, rasanya bukan awal yang buruk juga.

Kuliah di Periklanan bisa dibilang gampang-gampang susah. Gampang teori, susah di skripsi. Satu moment yang pasti kita tidak lupa pasti saat syuting film pendek bersama. Aku pengarah artis, kamu pengarah kamera. Aku bingung mengarahkan artis amatir yang minim ekspresi. Sementara kamu selalu kontradiksi dengan sutradara masalah sisi estetik. Pada akhirnya kamupun pergi, mengalah dengan situasi. Satu sesi emosi kala itu.

“Malam ini... malam terakhir aku lajang.”, kamu tiba-tiba menguapkan kalimat sambil memandangi langit-langit. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Bukankah memang masing-masing dari diri kita akan sampai di tahap ini juga pada akhirnya. Menjadi limited edition untuk satu wanita?

“Lajang gak lajang apa bedanya sih, man? Lajang desperate banyaaak, married frustasi.. apalagi.”, tambahku dengan tawa penuh kepuasan menakut-nakutinya.

“Kalian sudah 8 tahun. Sudah ada itu asam garam, cuka lada, sampai macam ketumbar di hubungan kalian. Kenapa juga khawatir? Mungkin level pemikiran ke depan yang perlu diupgrade.”

“Bukan khawatir. Aku takut kalau nantinya bahagia yang dia harapkan gak sebanding dengan bahagia yang aku mampu kasih.”. Kamu lalu memandangi jendela hotel yang lebar, mengamati bintang, mencoba meraba perkiraan-perkiraan.

“Bahagia itu seperti anak tangga. Bahagia nikah nantinya kalah sama bahagia punya anak. Bahagia punya anak nantinya kalah bahagia anak juara kelas. Bahagia anak juara kelas kalah sama bahagia anak menikah, begitu seterusnya. Gak usah ngomongin kebahagiaan dulu deh. Gak ada garis finishnya.”

“Eh, udah hapal belum itu ngomong-ngomong kata-kata ijab kabul?”
Ia lalu cekikikan dan mengulang-ngulang apa yang akan diucapkannya besok, sambil aku berpikir sejenak. Bahagia yang ia rangkai dari delapan tahun lalu saja masih ia khawatirkan. Bagaimana dengan aku? Rangkaianku berceceran entah di mana, tidak pernah ada benang kuat yang bisa kugunakan untuk menyambungkan perasaan-perasaan. Should I worried myself? Am I being unhappiest person then?

“Yuk, tidur ah. Sudah jam 12 nih. Capek banget dari kemarin belum ada tidur. Besok akad jam 4 pagi udah mandi loh!”, sang mempelai kupaksa memejamkan mata.
“Udah cuci kaki belooom itu ngomong-ngomong? Ntar ranjang gue kotooor!”

“Udaaah kali!”.

16 Agustus 2012

BERAWAL DARI NAMA


Berawal dari nama, kita akan mendapat jutaan cerita. Begitu pula dari judul, maka akan ada jutaan makna yang tercipta. Pernahkah kita mencoba mengingat beberapa hal di masa lalu yang sempat terkorupsi memori? Sebuah nama teman bermain sewaktu kecil? Siapa tetangga yang sering memberi bingkisan mungil? Atau pada apa yang terlintas pada benak anda saat ini juga? Jutaan nama dan cerita memberi kesempatan pada pesan. Jutaan pasang mata, telinga, dan jutaan hati pula yang membuat hari-hari menjadi bernilai.

Di sela-sela cerita, seringkali timbul tanda tanya, tanda seru, tanda bimbang, tanda hilang, tanda patah, tanda hancur, tanda bangkit, serta sejuta tanda lainnya yang sebenarnya adalah bingkisan tak terduga. Tanda di mana sebuah nama dapat merubah bentuk tanpa sengaja. Dari bayi hingga tumbuh berusia puluh. Dari sopan hingga bertingkah laku liar. Dari sayang menjadi tak termaafkan. Atau dari nol menjadi sebuah satu. Banyak hal yang berubah seiring dengan banyaknya nama-nama yang menemukan diri kita.

Ada yang mengaburkan rasa sakit, ada yang menyemangati dengan cinta, ada yang menyakitkan dengan dendam, ada yang melihat lewat tatapan dalam, ada yang menuntut untuk dibahagiakan. Banyak nama, maka banyak hal yang perlu kita mengerti. Setiap nama setidaknya memiliki sarang untuk bersembunyi. Lalu, tugas kita adalah untuk menemukan sarang itu. Dan dari semua sarang-sarang yang kita kumpulkan, seharusnya satu hal akan tersadarkan; bahwa menjadi manusia memang selalu erat dengan ketidaksempurnaan. Dan banyak ketidaksempurnaan yang diam karena mereka hanya sanggup menempatkannya tetap di sarang. Bagai orang bahagia yang cacat, bukan orang cacat yang bahagia.

Sebuah nama juga tidak akan selalu abadi. Berapa kali kita bertemu dengan wajah lama dan kita lupa akan nama? Berapa kali kita sadar untuk bertanya kabar pada nama yang telah usang? Bahkan terkadang sebuah nama yang telah tiada hanya akan berlalu begitu saja. Phonebook berisi daftar nama-nama baru, menggantikan nama-nama terdahulu yang terabaikan. Begitu banyak perpisahan menghapuskan ingatan, sedangkan begitu banyak pertemuan menggantikan perpisahan-perpisahan. Nama yang selalu abadi adalah sebuah nama yang selalu bisa membuat kita terbang tinggi sekaligus yang dengan gampang membuat kita jatuh. Mereka tidak akan termakan detik sebab mereka sebenarnya adalah tempat untuk belajar.

Nama dan cerita. Seperti luka dan bahagia. Tidak akan terlupa karena semua adalah bagian dari rentang metamorfosa. Meskipun pernah tertatih, perih, namun selalu akan ada saat dimana semua hal itu membuat bibir kita kembali tertawa. Bahwa yang terpenting adalah bukan karena sekarang kita bahagia saja, namun bagaimana belajar untuk meraih kebahagiaan tersebut dari sejuta nama dalam hidup kita.

Dan jangan lupa, selalu ada titik di akhir cerita. Selalu ada rangkuman nama-nama yang telah berbagi waktu berhubungan dengan jiwa.. 

Catatan: Telah diterbitkan di halaman persembahan skripsi penulis th. 2010.

18 Juli 2012

CATATAN KEMATIAN


Mulai hari ini aku tidak akan berkata apa-apa. Tak ada lagi diskusi personal. Tak ada lagi uluran tangan. Tak ada lagi pengertian. Tak akan ada lagi kata-kata sahabat. Tak ada lagi senyuman sindir dari rasa yang retak. Aku jahat. Sangat jahat, hingga aku sadar harus pergi jauh. Aku ingin lari dari semua ini, tapi kemana? Jalan bercabang-cabang membuat pikiran bertemu gundukan ilalang. Sementara nalar tak berkembang. Realistis terhadang. Dan inti dari segalanya, kebahagiaan mengambang.

Kamu bajingan. Kamu brengsek. Kamu anjing. Kamu babi. Puaskah aku mengatakan segalanya? Belum. Karena aku tahu kamu tidak seburuk itu. Tapi aku hanya ingin meluapkannya. Aku akhirnya bisa sekejam ini. Bisa tidak semunafik ini. Bisa benar-benar lepas mencaci maki. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak ingin mengakhiri. Bukan karena aku memikirkan sisa-sisa hati yang bersetubuh padamu, tapi karena otakku hanya milik iblis, jin, atau apalah itu. Jadi aku telah  memutuskannya. Telah bulat, tak bertekad, namun nekat kulakukan.

Sekali lagi aku ingin menjadi orang yang sangat tidak munafik. Aku ingin jika kau melihatku nanti, engkau tidak akan menyesal, engkau tidak akan terisak-isak hingga mulutmu ternganga lebar, berlutut kaku di depan darah-darah yang telah merembes pada sela-sela serat kainmu. Aku tidak ingin suatu saat ada rasa bersalah yang akan menancap pada setiap detik kau melangkah. Dan aku juga tidak ingin kamu berteriak-teriak dan terus berteriak “Bodoh”. Sebab aku tidak bodoh. Kalaupun ada yang bodoh, kamu pasti sudah mengerti itu siapa. Kalaupun bukan bodoh, anggap saja ini sebuah hadiah atas permainan yang kita lakukan. Surprise!! Hadiah utama di depan mata.

Selamat tinggal. Pasti engkau akhirnya lega. Begitu cepat aku mampu menyelesaikan segala kebingungan kita. Begitu cepat kenangan yang pernah ada tak akan bisa direkontruksikan ulang. Begitu cepat kau menghilangkan.

Salam dari dosa.

17 April 2011

TRANSPLANTASI JANTUNG

Tuhan, terima kasih telah membuatku mati sejenak di atas meja operasi tadi. Membiarkan bagian tengah dadaku digeledah lalu jantungku perlahan-lahan diangkat dari balik rongga rusukku yang berwarna pekat akibat tetes demi tetes darah yang tercecer tumpah. Sedikit sejarah, aku bukan tipe pengkonsumsi lemak jenuh yang mengakibatkan kadar kolesterol menumpuk, bukan pula tipe pengidap serangan jantung stadium atas usia lapuk. Kondisi kesehatanku cukup normal. Hanya perokok pasif, pelahap selektif, serta olahraga cukup dengan berjalan mengitari empat lantai kawasan rawan konsumtif.

Kali ini mungkin atas nama kesialan atau mungkin memang telah digariskan. Jantungku berfungsi sedikit abnormal. Benar-benar dapat berdetak hingga berpuluh kali tiap menitnya, dapat pula melambat seketika. Namun, akhir-akhir ini cenderung nyeri dalam jangka lama. Tanganku terkadang reflek mendekap ketika hal itu datang dengan cepat. Membungkam bahasa yang beku dengan satu teriakan tanpa nada. Hanya ada mulut ternganga.

Aku sadar aliran hemoglobin yang berlari menyusuri jantung akan sangat mempengaruhi kinerja tubuh manusia. Bagaimana mereka berpikir, bersikap, berkata membutuhkan sebuah proses pengambilan energi yang dititipkan pada darah. Untuk itu, saat ini aku beruntung dapat melakukan transplantasi jantung. Secara medis, cukup berbahaya. Tapi, akan lebih berbahaya lagi jika aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak perlu tahu akan dapat jantung berbentuk apa, berjenis apa, ataupun sepeninggalan siapa. Hanya perlu satu kepastian dari harapan bahwa hidup ini bisa kembali normal nantinya.

Tahap demi tahap operasi telah berhasil dilalui dalam beberapa hari. Kulihat perban tebal yang melingkari dadaku masih terpasang menutupi jahitan-jahitan yang belum mengering. Inilah sebenarnya sebuah kartu tarot kematian. Proses kelahiran ulang menjadi manusia baru, memberi nyawa pada raga yang dulu tersiksa. Bagai Kijang kotak yang meraih mimpi mencoba mesin F1. Sensasi yang luar biasa besarnya.

Beberapa sosok terdekat lalu bergantian menjenguk, menghadirkan senyum jujur yang begitu manjur, hingga akhirnya datang seseorang yang menjadikanku terketuk. Aku pikir kali ini jantungku akan baik-baik saja, akan sangat siap menghadapinya. Tapi nyatanya gejala abnormalitas itu muncul kembali. Detak kencang tak bisa dilawan, berdegup banyak tak beraturan.

Lalu aku menatap matanya dalam.

...

Maaf, aku masih sayang. Dan satu lagi maaf, aku belum bisa melupakan.

Mungkin lusa lebih baik cuci otak.

16 April 2011

PERTEMUAN

Hari ini kami akan dipertemukan kembali. Pertemuan ketiga yang akhirnya bisa terjadi setelah setahun lebih tiga bulan terhenti. Tidak sabar rasanya melihat kembali senyuman itu. Senyum dengan gigi yang berbaris rapi ala model iklan pasta gigi. Kalau kaca di pusat perbelanjaan ini seratus, mungkin hampir sebanyak itulah saya akan bersiap mencuri lirik. Apakah rambut saya tetap dengan kiblat semula? Apa resleting celana tidak menganga? Apa belahan dada tidak terlalu turun dan sebagainya. Entah mengapa pertemuan ini membuat saya khawatir. Ya, saya khawatir pertemuan ini membuat hati makin larut dalam ilusi yang dirancang dengan versi pribadi.

Dua pertemuan kami terdahulu berlangsung di kota lain. Pertemuan sederhana di sebuah kafe beraroma coklat Belgia. Sebenarnya saya benci kopi darat, tapi karena ia terlihat antusias maka egopun lelah untuk terus menghindar. Kami sudah banyak bersilat lidah di kolom chat, tertawa, tersenyum oleh kata-kata. Mungkin waktu itu yang ada di pikirannya adalah ingin menemui fakta. Ya, saya sangat ingat hari itu. Hari di mana saya pulang dengan berbunga-bunga, lalu sekejap meneteskan air mata ketika ia mengirim pesan singkat, “Thanks untuk hari ini, tapi kamu beda ya ternyata”. Inilah yang awalnya membuat saya benci pertemuan. Ternyata memang dia lebih tampan dari fotonya dan saya hanya selangkah lebih lihai mengedit tampilan muka. Tapi, percakapan kami tidak berhenti begitu saja. Ia melanjutkan ke pertemuan kedua dan perlahan saya mengerti bahwa harga yang bisa dipetik dari dialog kami adalah nilai kejujurannya. Mengapa perlu marah untuk yang sudah berusaha jujur di hadapan kita?

Sudah satu bulan lebih saya di Jakarta. Memutuskan untuk mengejar cita-cita sekaligus ingin menemaninya kalau tiba-tiba ia berduka. Setelah merancang pertemuan cukup lama, baru hari ini jadwalnya leluasa. Saya masih meraba-raba letak tempat yang ia tunjuk. Satu hal yang tidak pernah luput ketika menjajah kota baru, tersesat. Bahkan di saat melewati lorong brand-brand ternama. Kini menemukannya makin terasa seperti petualangan mencari harta. Ah, ia memang harta. Siapapun yang menyia-nyiakannya pasti akan menyesal di kehidupan berikutnya.

Tidak lama, wajahnya mulai muncul dari arah eskalator, melirik polos sudut-sudut. Menemukan yang sedang ditunggunya sedari tadi. Tampak hari ini ia masih memakai topi yang dibelinya pekan lalu, kemeja flannel merah favorit, sneaker hitam seperti biasa, genggaman tumbler Starbucks di tangan kanannya, dan tentu saja satu bingkisan senyum yang tak pernah terlupa. Seketika saya mulai melayang entah kemana dengan gaya bidadari gagal ketika mencoba membalas sapanya. Ia lalu ijin mampir ke toilet sebentar. Ekspresi letupan tak beraturanpun mulai dikeluarkan tanpa mengada-ada.

Kami lalu melaju ke sebuah restoran pasta. Percakapan kami berlangsung seperti biasa, penuh canda dan fakta. Senyumnya yang mahalebar mungkin bisa saja membungkus drama kesibukan di kantor atau mengambangkan sejenak masalah dengan kekasihnya. Lagipula senang rasanya jika melihat ia bisa merasa bahagia, tidak ingin menodainya dengan mengungkit-ungkit celah gelap yang telah susah payah ditimbun di dada. Ya, saya tahu mungkin ini terkesan naif. Saya terkadang hanya bisa berharap menjadi amunisi kebahagiaan ketika pikirannya telah kacau di mana-mana, hanya ingin melemaskan otot-otot tegang yang ada di pusat sarafnya, menggengam hatinya dengan sentuhan hangat teh hijau, hingga mengantarnya tidur dengan doa dan beberapa ucapan semoga. Ya, saya sadar mungkin cinta itu tidak segampang ketika diungkapkan. Mungkin juga tidak perlu diungkapkan dan lebih baik berjalan dengan sendirinya. Atau mungkin ini juga bukan cinta, mungkin saya hanya ingin menjaga dan memastikan bahwa ia baik-baik saja.

Tapi benar, saya memang benci pertemuan. Betapa saya jadi gila setelahnya. Betapa saya masih tersenyum sendiri ketika mengingat kartu kreditnya ditolak. Betapa saya menikmati celotehnya sepanjang garpu dan sendok bergolak. Betapa saya kagum ia masih sempat menuliskan satu kalimat akhir di kolom chat sebelum memejamkan mata. Betapa saya menghargai ketika hari ini ia berusaha membahagiakan seseorang dengan presentase sekitar 1% dari 1000% yang ia punya atau seseorang seharga seribu rupiah dari sejuta dollar di dompet hatinya. Entahlah siapa saya, entah apa arti saya di harinya. Entah juga rasa ini akan menjadi apa.

Terkadang saya harus mengakui bahwa benci itu berupa bulir-bulir dari harapan yang berlebih. Tapi, rupanya ia sudah merencanakan untuk pertemuan keempat. Entahlah saya harus benci atau tidak. Lagi-lagi saya enggan menolak.